Majalengka,CakraPers.com – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengusulkan agar pelaku pencurian dengan nilai kerugian di bawah Rp 10 juta tidak dipenjara, melainkan dikirim ke barak militer untuk menjalani pembinaan. Usulan ini disampaikan saat pengukuhan pengurus masyarakat adat budaya 'Danghyang Rundayan Talaga' di Kecamatan Talaga, Kabupaten Majalengka, pada Senin (12/5/2025). Namun, gagasan ini memicu beragam tanggapan, mulai dari dukungan hingga kekhawatiran akan lonjakan kejahatan.
Dedi menjelaskan bahwa pendekatan ini bertujuan menerapkan keadilan restoratif (restorative justice) sekaligus mengurangi beban biaya penegakan hukum.
Menurutnya, biaya proses hukum untuk kasus pencurian kecil, seperti yang bernilai Rp 3 juta, bisa mencapai Rp 50 juta, meliputi penyelidikan, penuntutan, persidangan, hingga penahanan. “Mending keneh urang barak militer keun, sina kuli manggul, macul, bopon, tandur, nyemen,” ujar Dedi, seraya menyebut pelaku dapat dilatih keterampilan melalui kerja fisik di barak militer.
Ia juga menyoroti dampak sosial dari pemenjaraan pelaku pencurian kecil. “Kalau orang kecil dipenjarakan, malingnya hanya maling ayam, istrinya tidak ada usaha, anaknya bisa tidak sekolah. Dampaknya, kemiskinan bertambah,” tambahnya. Dedi mengaku sedang menjalin kerja sama dengan Polda Jawa Barat untuk mengimplementasikan program ini mulai Juni-Juli 2025, dengan melibatkan bupati se-Jawa Barat.
Usulan ini menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Pendukung kebijakan, seperti Andy (45), warga Majalengka, menyambut baik gagasan tersebut. “Bagus, daripada dipenjara, mending dilatih supaya punya keterampilan. Biar gak maling lagi,” katanya Selasa (13/5/2025).
Namun, sejumlah pihak mengkhawatirkan potensi dampak negatif. Rimba, seorang pengguna media sosial, menyinggung pengalaman California pasca-Proposition 47 tahun 2014, yang menurunkan kategori pencurian di bawah $950 menjadi pelanggaran ringan. “Di California, pencurian di toko melonjak jadi 100.000 kasus per tahun. Jabar bisa kacau kalau semua berani maling karena hukumannya cuma masuk barak,” tulisnya di platform X.
Kritik juga datang dari Maman, warga Bandung, yang menilai Dedi lebih baik fokus pada masalah mendasar di Jawa Barat. “Pengangguran tertinggi se-Indonesia, kemiskinan nomor dua, kejahatan meningkat, Sungai Citarum tercemar. Urusin itu dulu, jangan pencitraan,” ujarnya melalui X. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 memang mencatat Jawa Barat memiliki tingkat pengangguran tertinggi (7,1%) dan 3,67 juta penduduk miskin, tertinggi kedua di Indonesia.
Pengamat hukum dari Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa, menilai pendekatan keadilan restoratif yang diusung Dedi memiliki dasar yang kuat, namun implementasinya harus hati-hati. “Restorative justice efektif jika melibatkan korban, pelaku, dan masyarakat secara seimbang. Harus ada mekanisme kompensasi untuk korban agar tidak merasa dirugikan,” katanya Rabu (14/5/2025).
Sementara itu, program ini masih dalam tahap perencanaan. Dedi berharap pendekatan ini tidak hanya mengurangi beban sistem peradilan, tetapi juga membantu menekan angka kemiskinan dengan mencegah dampak sosial dari pemenjaraan pelaku kecil. Namun, keberhasilan program ini akan sangat bergantung pada implementasi dan respons masyarakat di lapangan.
(Update Nusantara)